“Sementara anak
laki-laki itu terus mengigau dalam demamnya, menyebut-nyebut ujiannya.”
Majid
merasa tidak memahami sedikit pun apa yang ia baca. Kedua matanya menatap
huruf-huruf dan menelusuri kalimat demi kalimat bacaan itu. Namun pikirannya
sama sekali tidak menjangkau maknanya. Ia memang sedang tidak memikirkan
pelajarannya. Ia sedang memikirkan barang haram itu dan semua bencana yang
telah ditimbulkannya. Bagaimana barang haram itu telah menggerus hidupnya dan
hidup saudara perempuannya yang malang, dan menjadikannya bagai Neraka yang
menyala-nyala. Ia kembali memandang buku catatannya. Ternyata satu minggu lagi
ujian itu akan berlangsung. Dan ia harus membaca
dan menyiapkan diri. Tapi
bagaimana ia dapat membaca dan bagaimana ia menyiapkan diri?
Bagaimana
ia dapat menenangkan diri di dalam rumah itu jika wanita itu terus mengusir,
menyakiti dan tidak membiarkannya beristirahat sedikit pun. Dan jika tidak
menyakitinya, maka wanita itu akan beralih menyakiti saudara perempuannya dan
menumpahkan seua kemarahannya padanya?
Apakah
ia rela jika harus gagal di tahun pertamanya di SMA setelah sebelumnya ia
selalu menonjol bahkan meraih rangking pertama di kelasnya?
Ketika
ia sedang larut dalam pikirannya, tiba-tiba ia dikejutkan dengan suara angina
kencang yang berhembus. Dan jika angina kencang itu melintasi perkebunan sekali
dalam sebulan, lalu ia mematahkan ranting-ranting, merontokkan dedaunan,
kemudian hujan datang membasahi bumi, dan berikutnya matahari terbit dan dahan
yang patah itu akan tumbuh menjadi sebuah ranting yang baru…
Tapi
angina kencang yang berhembus di dalam rumahnya terjadi di setiap waktu. Angin
itu mematahkan hatinya dan hati adik perempuannya yang baru berusia enam tahun.
Namun tidak ada yang mengobati luka itu. Yah, seakan angina kencang di
perkebunan itu jauh lebih penyayang dan lembut daripada kemanusiaan wanitu itu.
Yang kelihatannya begitu cantik, manis dan menawan hati. Tapi ternyata ia
adalah seekor ular berbisa dan berbahaya…
Ia
telah mendengarkan semua caci-makinya bahkan suara tangannya ketika menghantam
tangan kecil adiknya yang tak berdosa. Dan ia tidak bisa tinggal diam. Ia tidak
bisa melindungi adiknya karena takut pada ayahnya; seorang pria yang telah
bersekutu dengan wanita baru itu. Bahkan ayahnya membantu wanita itu untuk
menindas adik kecilnya sebelum ia sendiri mengerti apa itu kehidupan. Ia
berdiri di depan jendela kecil itu dan ia melihat adiknya bersandar di dinding
dan menangis dengan hati yang terluka. Wajahnya memerah dan bajunya basah.
Sebuah
buncahan perasaan dari hatinya mengalir ke kedua pelupuk matanya dan air
matanya pun menetes. Apa dosa si kecil itu hingga ia disiksa dengan penyiksaan
seperti itu? Apakah ia tidak pernah menjadi sumber kebahagiaan dan perhiasan
kehidupan ayahnya? Bukankah dulu ia menjadi orang yang paling berharga dalam
hidupnya? Lalu mengapa sekarang ia menjadi manusia yang terhina dan sangat di
benci? Ia tak lagi pernah mendengarkan apapun di rumah ini selain cacian dan
kemarahan. Ia kini menjadi seorang pembantu di rumah ayahnya sendiri. Bahkan
jauh lebih buruk dari seorang pebantu.
Seorang
pembantu boleh jadi menemukan majikan yang sangat menghargainya, sehingga ia
diperlakukan seperti anak sendiri. Namu ayah mereka sudah sama sekali tidak
memiliki hati untuk memperlakukan putrinya sendiri dengan penuh cinta. Putri
kandungnya sendiri diperlakukannya seperti pembantu yang terhina. Perempuan
kecil itu benar-benar telah ditakdirkan menjadi yatim piatu. Ibunya telah
meninggal dunia dan sekarang ia tidak lagi mempunyai ibu. Sementara ayahnya
telah mati perasaannya, dan itu membuatnya seperti tidak lagi mempunyai ayah!
Ia
mendengan suara ibu tirinya berteriak: “Ke sini kamu, wahai babi!”
Bagitulah
wanita itu selalu memanggilnya. Ia tidak pernah memanggilnya kecuali dengan sebutan
itu.
“Apakah
engkau tidak mendengarkan apa yang diinginkan adikmu? Coba lihat apa yang
diinginkannya! Apa kamu tuli?? Coba bilang: apa yang diinginkannya?” Suara itu
kembali menggelegar.
Si
kecil yang malang itu menjawab dengan suara penuh ketakutan: “Ia menginginkan
sebuah coklat…”
“Kenapa
engkau tinggal diam berdiri seperti binatang di situ?!! Pergi dan berikan apa
yang diinginkannya!!”
Perempuan
kecil yang malang itu terpaku di situ. Ia tidak tahu bagaimana menjelaskan
kepada wanita itu jika potongan cokelat yang ia pegang adalah potongan yang
tersisa untuknya. Kemarin ayahnya membeli sepotong coklat besar yang kemudian
ia berikan kepada anaknya yang paling kecil. Si kecil itu memakan coklat itu
sementara kakak perempuannya yang malang itu hanya bisa memandangnya. Lalu
mereka tidak enak dengan pandangan itu dan kemudian wanita itu melemparkan
sepotong coklat itu kepadanya. Persis seperti orang yang melemparkan sepotong
ikan kepada seekor kucing yang berkeliling di sekitarnya ketika ia sedang makan.
Si kecil yang malang itupun memungut potongan coklat itu dengan perasaan
gembira. Ia tidak berani memakannya di situ
meskipun ia sangat menginginkannya. Ia menyimpannya. Membawanya setiap
saat untuk sekadar melihatnya, dan itu membuat hatinya menjadi tenang. Hingga
waktu itu, ia tidak bisa lagi menahan keinginannya. Ia mengeluarkan coklatnya
lalu menggigitnya sedikit dengan ujung giginya. Tapi malang, adik kecilnya itu
melihatnya. Akibatnya ia menangis meminta cokelat itu…
“Mana cokelatnya?!!”
Ia
terdiam. Tapi si kecil itu mengadu: “Di situ, mama. Dia yang memegangnya! Dia
mengambilnya dariku!”
Wanita
itu menyeretnya seperti petugas menyeret seorang tersangka. Dan ketika ia
benar-benar menemukan cokelat itu padanya, terjadilah musibah besar!!
“Dasar
pencuri!! Apa memang begini ibumu dulu mengajarmu?! Mencuri apa yang bukan
milikmu?!”
Majid
masih bisa menahan semuanya , hingga ia mendengarkan ibunya dihina dan
direndahkan. Ketika ia mendengar wanita itu menyebutnya, ia tidak lagi bisa
menahan dirinya. Ia berteriak:
“Aku
tidak bisa membiarkanmu membicarakan ibuku!!”
Wanita
itu naik pitam. Ia bersiap-siap untuk menyeretnya pula lalu memukulnya. Selama
ini, wanita itu memang mencari-cari kesempatan untuk itu karena Majid bisa
bersabar untuk diam mendengarkan semuanya.
“Oh,
kau tidak mengizinkanku? Oh, maafkan aku Tuan yang terhormat. Aaah, apakah
tidak cukup aku capek menyiapkan makanan untukmu, mengurusmu, sementara engkau
tidak ada guna sama sekali kecuali menulis dalam buku hitam ini. Aku sudah
capek mengurusmu, anak kurang ajar! Tapi ini sebenarnya tidak mengherankan ,
karena ibumu memang mengajarimu bagitu…” sindir wanita itu penuh amarah.
“Aku
sudah bialng, jangan sebut-sebut ibuku! Kalau tidak aku akan membungkammu!”
ujar Majid.
“Kau
ingin memukulku? Dasar anak tidak tahu diri!!”
Ia
terus meracau dan meluapkan emosinya. Majid lari bersenbunyi ke kamarnya –jika
itu memang layak disebut sebagai kamar-, sebuah tempat kecil di sudut rumah
yang biasa ia tempati untuk bersembunyi dari pandangan mata wanita itu.
Sang
ayah akhirnya tiba. Dan seperti biasa, ia masuk ke dalam rumah dengan wajah
masam tanpa tersenyum kepada anak-anaknya, agar mereka tidak menjadi berani
padanya karena itu akan merusak pembinaan dan akhlak mereka. Padahal sebelumnya
ia tidak pernah begitu. Namun sejak kehadiran wanita itu di rumah ini, ia mulai
menjadikan itu sebagai prinsipnya. Wanita itu berhasil menanamkan racunnya pada
ayah. Bahwa Majid dan adiknya adalah dua anak yang rusak dan nakal yang tidak
mungkin menjadi baik kecuali dengan kekerasan…
Wanita
keji itu memang licik dan lihai. Jika sang suami itu sudah hampir pulang ke
rumah, ia akan mengganti “pakaian”nya dengan “pakaian yang baru”. Ia akan
melepaskan wajah setannya dan memakai wajah baru yang nampak polos dan tanpa dosa.
Ia juga akan segera memandikan kedua anak perempuan itu –putri suaminya dan
putrinya yang ia peroleh dari suaminya itu- agar terlihat bersih, lalu
mengenakan pakaian yang serupa agar sang suami tidak merasa ia membeda-bedakan
antara putri suaminya dan putrinya…
Pria
itu masuk, dan wanita itu menyambutnya bagai orang yang penuh cinta dan
kerinduan. Namun ia menyimpan wajah lainnya yang tanpa dosa dan seakan
menampakkan betapa malang dan terzhaliminya ia. Ia segera membantu suaminya
–pria yang telah tertipu- itu untuk melepaskan pakaiannnya, sambil menceritakan
kisah penuh dusta yang menyebabkan dada sang suami dipenuhi amarah dan
kebencian pada anak-anaknya sendiri.
Tiba-tiba
saja ia keluar tanpa lagi melihat apa yang ada di depannya. Ia memanggil putrinya
yang keudian datang dengan penuh ketakutan, berjalan seperti orang yang
dituntun menuju kematian. Perempuan kecil yang malang itu berdiri di depannya,
sementara ayahnya duduk di atas kursi dan mulai menacaci-makinya atas tindakan
“pencurian” yang dilakukannya. Penuh caci-maki dan kemarahan…
Lalu
pria itu mencari putranya, Majik. Pandangannya penuh ancaman. Sementara Majid
tidak bisa diam mendengarkan tuduhan adiknya melakukan pencurian padahal ia
tidak melakukannya. Ia mendatangi ayahnya untuk menjelaskan duduk perkaranya.
Namun siapa sangka ia hanya mengantar dirinya pada sumber bahaya itu sendiri.
Gunung
merapi itu meledak. Rumah itu bagai mengalami gempa bumi. Suara sang ayah bagai
petir yang menggelegar, penuh kemarahan berkata:
“Kau
ingin memukul ibu (tiri)mu, wahai anak tidak tahu malu?!! Wahai anak tidak tahu
diri! Apa kamu piker, jika kau sudah berumur 14 tahun kamu sudah jadi orang
dewasa? Apa kalau kamu sudah dewasa kamu boleh memukul ibu (tiri)mu?! Aku akan
mematahkan tanganmu, wahai anak celaka!!”
“Demi
Allah, Ayah! Itu tidak benar…”
Oh,
sekarang kamu juga sudah berani melawan?! Apa kamu sudah kehilangan
sopan-santunmu?! Kamu ingin mengatakan ibu (tiri)mu berbohong?”
“Tidak,
aku tidak mengatakan ia berdusta, tapi dia telah mengatakan sesuatu yang tidak
benar,” ujar Mujid.
Pada
saat itulah, ayahnya melompat ke arahnya dengan semua kekuatan yang
dimilikinya. Ia memukuli anak itu seperti orang gila yang kehilangan akal
sehatnya. Dan karena kemarahannya belum habis, ia mengambil buku tulis hitam di
mana putranya itu mencatat semua pelajaran sekolah, lalu merobek-robeknya
sehabis-habisnya. Kemudian ia membiarkannya bersama adik perempuannya, tanpa
makan malam sebagai hukuman untuk mereka berdua…
Suami-istri
itu lalu makan malam bersama putri kecil mereka. Setelah itu, mereka berdua
masuk ke pembaringan mereka. Sementara anak laki-laki itu hanya diam terpaku di
tempatnya memandangi buku catatannya yang ia tulis hingga menghabiskan
malam-malamnya. Demi menulis catatan itu ia rela mengabaikan makan dan waktu
tidurnya. Ia kemudian berdiri mengumpulkan kepingan-kepingan buku itu seperti
seorang ibu mengumpulkan serpihan-serpihan tubuh putranya yang hancur karena
ledakan bom. Dan ternyata ia telah hancur lebur sehingga tidak mungkin
dikumpulkan lagi. Buku catatan itu tidak lagi dapat dibaca kecuali jika
serpihan-serpihan tubuh itu kembali manjadi sosok manusia yang sempurna, yang
dapat berbicara dan berjalan…
Di
situlah Majid menjadi sangat yakin bahwa ia pasti tidak akan lulus dalam ujian.
Ia telah menyia-nyiakan tahun itu. Baban itu begitu berat. Ia tidak bisa
menanggung beban kezhaliman ini. Ia merasa dunia ini berputar dan tiba-tiba
hari-hari lalunya berputar ulang kembali seperti sebuah film…
Ia
memandangi wajah yang sangat dicintainya itu, wajah ibunya dengan senyumannya
membuatnya melupakan semua kepedihan dunia. Dadanya yang hangat tempatnya
bersandar ketika merasakan beratnya hari. Ia melihat ibunya dalam sosoknya yang
muda dan sehat. Ia melihat rumah mereka. Tidak ada selain kedamaian, ketenangan
dan cinta. Ia melihat ayahnya yang sebenarnya, dipenuhi kasih seorang ayah dari
kedua pelupuk matanya yang penuh cinta, dari kedua tangannya yang selalu
dipenuhi kelembutan dan lisannya yang selalu dihiasi dengan perkataan yang
lembut dan menyenangkan…
Lalu
film itu berputar cepat…
Dan
kini ia melihat ibunya terbaring sakit. Namun ia sebenarnya tidak peduli dengan
sakitnya. Kemudian rumah mereka mengalami sebuah keguncangan. Kesedihan
meliputi wajah-wajah para penghuninya. Terdengar suara tangisan dan
sesenggukan. Mereka menjauhkannya dan menyembunyikan berita itu darinya. Namun
ia tahu bahwa ibunya telah meninggal. Meninggal? Itu adalah kata yang sudah
biasa ia dengarkan. Ketika itu, kata itu tidak berarti apa-apa baginya. Ia
sering mendengarkan itu. Sering pula membacanya di buku-buku. Tapi ia belum
pernah menyaksikannya langsung…
Hanya
saja hari-hari berlalu begitu cepat. Dengan segera, ia memahami apa kematian
itu ketika keesokan paginya, adik perempuan yang tersayang itu menangis mencari
ibunya, yang hari-hari itu masih menjadi sosok yang sangat disayangi oleh
ayahnya. Ia membuka kedua matanya, dan ia tak menemukan sang ibu di sampingnya.
Tidak adak ibu yang akan menyusui sang adik dan mendekapnya di dadanya. Adik
kecilnya itu semakin keras tangisnya. Anak laki-laki itu mulai
memanggil-manggil:
“Mama…”
Ia
terus mencari-carinya, namun ia hanya mendapati sang ayah bersama beberapa
kerabat. Mereka juga ikut menangis. Anak kecil itu bertanya pada mereka:
“Mama
ke mana?”
Namun
mereka tak menjawab…
Ketika
ia akan pergi ke sekolah, ia kembali memanggil ibunya. Namun sang ibu tak
kunjung muncul untuk menyiapkan tas, mengenakan pakaian, dan berdiri
mengantarkan kepergiannya di balik pintu, menciumnya dan menyampaikan
pesan-pesannya untuk tidak berkelahi dan bermain-main di lorong-lorong sempit.
Lalu ketika ia telah menjauh, sang ibu kembali memanggilnya untuk mengulangi
ciuman dan nasihatnya. Dan ketika ia kembali dari sekolah, ia menemukan seorang
wanita yang tak dikenalnya menyusui adik perempuannya. Mengapa ia disusui oleh
wanita itu? Ke mana ibuku?
Dan
kini ia melihat ayahnya mulai merasa iba dan kasihan kepadanya. Sang ayah
berusaha untuk menjadi ayah sekaligus ibu untuknya dan untuk adiknya. Namun
sang ayah kemudian berubah sejak hari yang kelam itu. Ia benar-benar melihat
itu sebagai sebuah hari yang kelam, hari ketika ayahnya berkata padanya:
“Majid, tidak lama lagi engkau akan mendapatkan seorang ibu baru…”
Ibu baru?
Ini hal
yang tidak pernah didengarkannya. Ia tahu bagaimana rasanya mendapatkan seorang
adik baru. Sang ibu melahirkannya dari rahimnya.
Tapi
seorang ibu baru, dari mana ia muncul? Dan ia pun menunggu. Hingga datanglah
sang ibu baru itu. Seorang ibu yang manis. Pakaiannya indah. Pipinya bagai
merah delima. Bibirnya merah, tidak seperti bibir manusia biasa. Pendek kata,
ia sungguh menawan. Tapi entah mengapa, Majid sama sekali tidak menyukainya. Di
hari-hari pertama keberadaannya di rumah itu, wanita itu begitu lembut dan baik
hati. Namun ketika hari demi hari berlalu, wanita itu semakin mencengkeramkan
kaki dan tangannya di rumah itu. Dan ketika itulah, ia berubah menjadi sosok
yang keras dan kasar seperti batang pohon. Namun ia begitu pandai menipu dengan
kecantikannya…
Dan
ketika ia dianugerahi seorang anak perempuan, wanita itu berubah menjadi sosok
setan dalam wujud ular berbisa dibungkus kulit seorang wanita cantik. Na’udzubillah dari wanita cantik, namun
sebenarnya ia adalah setan dalam wujud ular berbisa!
Begitulah,
dan semua gembaran masa silam yang menyenangkan itupun lenyap. Film itu
menghilang sedikit demi sedikit. Tidak ada yang tersisa selain gambaran yang
mengerikan dan menakutkan itu. Ia melihat gambar itu membesar dan membesar,
semakin besar hingga memenuhi dan meliputi seluruh kehidupannya. Cahaya
kenangan dan sinar harapan itu akhirnya tertutupi. Ia mendengarkan suara tawa
terbahak-bahak. Ia gemetar dan merasa suara tawa itu bagai rentetan peluru yang
menghantam jiwanya. Suara tawa wanita yang menggantikan ibunya itu diselingi
oleh suara tawa ayahnya…
Ia
tiba-tiba tersadar dari lamunannya. Sayup-sayup ia mendengarkan suara tangisan yang
sesenggukan. Ia ingat adiknya. Adiknya yang malang itu belum makan malam. Dan
mungkin ia akan tinggal hingga esok siang tanpa makan siang. Karena wanita
jahat itu akan disibukkan dengan mengurus anaknya sendiri, mengunci ruang
makan, dan tidak memberinya apa-apa selain sepotong roti. Lalu jika suaminya
datang, ia akan kembali memasang muka belas kasihnya dan mengadukan sakit adik
perempuannya yang malang itu dan betapa lemahnya ia:
“Sungguh
malang anak ini, Suamiku. Ia tak pernah makan sedikit pun. Coba lihat tubuhnya,
apakah kau tak ingin membawanya ke dokter? Tapi apa yang dapat dilakukan dokter
padanya? Ia sungguh anak yang keras kepala. Aku sudah menyuruhnya makan, tapi
ia tidak mau makan. Sifat keras kepalanya itu akan merongrong kesehatannya…”
Mendengar
itu ayahnya memanggilnya dengan penuh kemarahan:
“Mengapa
kau begitu keras kepala?! Makanlah, kalau tidak aku akan mematahkan lehermu!!”
Anak
perempuan malang itu maju untuk makan. Namun begitu ia melihat wanita jahat itu
memandangnya dari belakang suaminya dengan pandangan yang mengancam. Anak
malang itu seperti memandang wajah buaya sehingga ia ketakutan dan gemeter…
Wanita
itupun berkata kepada suaminya: “Bukankah sudah kukatakan padamu kalau ia keras
kepala dan harus dididik?”
Sang
suami menganggukkan kepalanya. Dan untuk mendidiknya, ia pun memukulnya,
menarik telinganya dan mengusirnya dari ruangan itu, dan itulah yang akan
menjadi makan malamnya kali itu!
Majid
teringat akan adiknya. Ia pun berdiri lalu menggendongnya dan memeluknya.
Mendekapnya ke dadanya.
“Adik
kenapa? Mengapa menangis? Berhentilah menangis, Sayang…”
“Aku
lapar…”
Lapar?
Dari mana ia bisa memberikan makanan untuknya? Ia mencoba mencari-cari…
Beruntung
ia menemukan pintu ruang makan terbuka! Padahal biasanya pintu itu selalu
tertutup. Di atas meja makan ia menemukan sisa-sisa makan malam. Ia membawanya
untuk adik kecilnya yang malang. Betapa gembiranya si kecil yang malang itu.
Dengan lahap ia memakan sisa-sisa makanan itu persis seperti anak yang
sebelumnya tidak pernah menjadi anak yang disayangi dan dicintai. Yang
permintaannya selalu dipenuhi. Harapan nyaris tidak ada yang sia-sia. Betapa
sakitnya perasaan Majid melihat adiknya yang malang itu hanya memakan sisa-sisa
makanan ayah dan ibu tirinya. Itupun setelah ia “mencuri” dari ruang makan.
Bayangan-bayangan
masa lalu kembali hadir di depannya. Gambaran ibunya hadir kembali. Ia seperti
mendengar suaranya memanggil…
Khayalan
itu semakin nyata persis seperti dahulu gambaran itu hadir di depan matanya.
Khayalan itu melemparnya ke masa lalunya dan membuatnya lupa terhadap masa
kininya. Ia tidak lagi melihat adiknya yang malang dan terzhalimi. Kini ia
melihatnya sebagai anak yang paling disayang, yang menemukan seorang ibu yang
mencintai dan mengasihinya…
Ia
melupakan buku catatannya yang telah tersobek-sobek, masa depannya yang telah
hilang, kehidupannya yang pahit. Ia mulai menyimak baik-baik panggilan masa
lalu di kedua telinganya, kepada suara ibunya…
“Bangunlah
sayangku! Apakah engkau tak mendengar suara ibumu? Ayolah kita pergi menemui
ibu kita!”
Anak
perempuan itu kebingungan, karena ia tidak pernah mengenal sosok ibu kecuali si
wanita jahat itu. Ia takut padanya dan tidak mau pergi menemuinya. Itulah
kejahatan wanita itu. Ia berhasil
menanamkan pikiran buruk dalam benak anak itu tentang sosok terindah
yang dikenal oleh setiap manusia: sosok ibu!
“Ayolah,
kita pergi menemui ibu kita yang manis. Ibumu ada di sana, di temat yang sangat
indah, di daam Surga. Apakah engkau tidak mendengarkan suaranya?”
Ia
menuntun adiknya dengan kedua tangannya, membuka pintu dan berjalan bersamanya,
menikuti ke mana arah suara yang terdengar manis di kedua telinganya, ke tempat
di mana ibunya berada…
Keesokan
pagi harinya, di Koran orang-orang membaca bahwa petugas kebersihan menemukan
seorang anak perempuan berusia 6 tahun dan seorang anak laki-laki berusia 14
tahun berbaring lemah di sebuah perkuburan. Mereka segera di bawa ke rumah
sakit, karena kondisi anak perempuan itu sangat kritis. Ia tidak mungkin
selamat kecuali dengan keajaiban takdir. Sementara anak laki-laki itu terus mengigau
dalam demamnya, menyebut-nyebut ujiannya, buku catatan berwarna hitamnya,
ibunya yang terus memanggi-manggilnya dan wanita yang serupa ular berbisa itu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar