Kamis, 22 Maret 2012

DUA ANAK YATIM


“Sementara anak laki-laki itu terus mengigau dalam demamnya, menyebut-nyebut ujiannya.”

                Majid merasa tidak memahami sedikit pun apa yang ia baca. Kedua matanya menatap huruf-huruf dan menelusuri kalimat demi kalimat bacaan itu. Namun pikirannya sama sekali tidak menjangkau maknanya. Ia memang sedang tidak memikirkan pelajarannya. Ia sedang memikirkan barang haram itu dan semua bencana yang telah ditimbulkannya. Bagaimana barang haram itu telah menggerus hidupnya dan hidup saudara perempuannya yang malang, dan menjadikannya bagai Neraka yang menyala-nyala. Ia kembali memandang buku catatannya. Ternyata satu minggu lagi ujian itu akan berlangsung. Dan ia harus membaca
dan menyiapkan diri. Tapi bagaimana ia dapat membaca dan bagaimana ia menyiapkan diri?
                Bagaimana ia dapat menenangkan diri di dalam rumah itu jika wanita itu terus mengusir, menyakiti dan tidak membiarkannya beristirahat sedikit pun. Dan jika tidak menyakitinya, maka wanita itu akan beralih menyakiti saudara perempuannya dan menumpahkan seua kemarahannya padanya?
                Apakah ia rela jika harus gagal di tahun pertamanya di SMA setelah sebelumnya ia selalu menonjol bahkan meraih rangking pertama di kelasnya?
                Ketika ia sedang larut dalam pikirannya, tiba-tiba ia dikejutkan dengan suara angina kencang yang berhembus. Dan jika angina kencang itu melintasi perkebunan sekali dalam sebulan, lalu ia mematahkan ranting-ranting, merontokkan dedaunan, kemudian hujan datang membasahi bumi, dan berikutnya matahari terbit dan dahan yang patah itu akan tumbuh menjadi sebuah ranting yang baru…
                Tapi angina kencang yang berhembus di dalam rumahnya terjadi di setiap waktu. Angin itu mematahkan hatinya dan hati adik perempuannya yang baru berusia enam tahun. Namun tidak ada yang mengobati luka itu. Yah, seakan angina kencang di perkebunan itu jauh lebih penyayang dan lembut daripada kemanusiaan wanitu itu. Yang kelihatannya begitu cantik, manis dan menawan hati. Tapi ternyata ia adalah seekor ular berbisa dan berbahaya…
                Ia telah mendengarkan semua caci-makinya bahkan suara tangannya ketika menghantam tangan kecil adiknya yang tak berdosa. Dan ia tidak bisa tinggal diam. Ia tidak bisa melindungi adiknya karena takut pada ayahnya; seorang pria yang telah bersekutu dengan wanita baru itu. Bahkan ayahnya membantu wanita itu untuk menindas adik kecilnya sebelum ia sendiri mengerti apa itu kehidupan. Ia berdiri di depan jendela kecil itu dan ia melihat adiknya bersandar di dinding dan menangis dengan hati yang terluka. Wajahnya memerah dan bajunya basah.
                Sebuah buncahan perasaan dari hatinya mengalir ke kedua pelupuk matanya dan air matanya pun menetes. Apa dosa si kecil itu hingga ia disiksa dengan penyiksaan seperti itu? Apakah ia tidak pernah menjadi sumber kebahagiaan dan perhiasan kehidupan ayahnya? Bukankah dulu ia menjadi orang yang paling berharga dalam hidupnya? Lalu mengapa sekarang ia menjadi manusia yang terhina dan sangat di benci? Ia tak lagi pernah mendengarkan apapun di rumah ini selain cacian dan kemarahan. Ia kini menjadi seorang pembantu di rumah ayahnya sendiri. Bahkan jauh lebih buruk dari seorang pebantu.
                Seorang pembantu boleh jadi menemukan majikan yang sangat menghargainya, sehingga ia diperlakukan seperti anak sendiri. Namu ayah mereka sudah sama sekali tidak memiliki hati untuk memperlakukan putrinya sendiri dengan penuh cinta. Putri kandungnya sendiri diperlakukannya seperti pembantu yang terhina. Perempuan kecil itu benar-benar telah ditakdirkan menjadi yatim piatu. Ibunya telah meninggal dunia dan sekarang ia tidak lagi mempunyai ibu. Sementara ayahnya telah mati perasaannya, dan itu membuatnya seperti tidak lagi mempunyai ayah!
                Ia mendengan suara ibu tirinya berteriak: “Ke sini kamu, wahai babi!”
              Bagitulah wanita itu selalu memanggilnya. Ia tidak pernah memanggilnya kecuali dengan sebutan itu.
                “Apakah engkau tidak mendengarkan apa yang diinginkan adikmu? Coba lihat apa yang diinginkannya! Apa kamu tuli?? Coba bilang: apa yang diinginkannya?” Suara itu kembali menggelegar.
                Si kecil yang malang itu menjawab dengan suara penuh ketakutan: “Ia menginginkan sebuah coklat…”
                “Kenapa engkau tinggal diam berdiri seperti binatang di situ?!! Pergi dan berikan apa yang diinginkannya!!”
                Perempuan kecil yang malang itu terpaku di situ. Ia tidak tahu bagaimana menjelaskan kepada wanita itu jika potongan cokelat yang ia pegang adalah potongan yang tersisa untuknya. Kemarin ayahnya membeli sepotong coklat besar yang kemudian ia berikan kepada anaknya yang paling kecil. Si kecil itu memakan coklat itu sementara kakak perempuannya yang malang itu hanya bisa memandangnya. Lalu mereka tidak enak dengan pandangan itu dan kemudian wanita itu melemparkan sepotong coklat itu kepadanya. Persis seperti orang yang melemparkan sepotong ikan kepada seekor kucing yang berkeliling di sekitarnya ketika ia sedang makan. Si kecil yang malang itupun memungut potongan coklat itu dengan perasaan gembira. Ia tidak berani memakannya di situ  meskipun ia sangat menginginkannya. Ia menyimpannya. Membawanya setiap saat untuk sekadar melihatnya, dan itu membuat hatinya menjadi tenang. Hingga waktu itu, ia tidak bisa lagi menahan keinginannya. Ia mengeluarkan coklatnya lalu menggigitnya sedikit dengan ujung giginya. Tapi malang, adik kecilnya itu melihatnya. Akibatnya ia menangis meminta cokelat itu…
“Mana cokelatnya?!!”
                Ia terdiam. Tapi si kecil itu mengadu: “Di situ, mama. Dia yang memegangnya! Dia mengambilnya dariku!”
                Wanita itu menyeretnya seperti petugas menyeret seorang tersangka. Dan ketika ia benar-benar menemukan cokelat itu padanya, terjadilah musibah besar!!
             “Dasar pencuri!! Apa memang begini ibumu dulu mengajarmu?! Mencuri apa yang bukan milikmu?!”
                Majid masih bisa menahan semuanya , hingga ia mendengarkan ibunya dihina dan direndahkan. Ketika ia mendengar wanita itu menyebutnya, ia tidak lagi bisa menahan dirinya. Ia berteriak:
                “Aku tidak bisa membiarkanmu membicarakan ibuku!!”
                Wanita itu naik pitam. Ia bersiap-siap untuk menyeretnya pula lalu memukulnya. Selama ini, wanita itu memang mencari-cari kesempatan untuk itu karena Majid bisa bersabar untuk diam mendengarkan semuanya.
                “Oh, kau tidak mengizinkanku? Oh, maafkan aku Tuan yang terhormat. Aaah, apakah tidak cukup aku capek menyiapkan makanan untukmu, mengurusmu, sementara engkau tidak ada guna sama sekali kecuali menulis dalam buku hitam ini. Aku sudah capek mengurusmu, anak kurang ajar! Tapi ini sebenarnya tidak mengherankan , karena ibumu memang mengajarimu bagitu…” sindir wanita itu penuh amarah.
                “Aku sudah bialng, jangan sebut-sebut ibuku! Kalau tidak aku akan membungkammu!” ujar Majid.
                “Kau ingin memukulku? Dasar anak tidak tahu diri!!”
                Ia terus meracau dan meluapkan emosinya. Majid lari bersenbunyi ke kamarnya –jika itu memang layak disebut sebagai kamar-, sebuah tempat kecil di sudut rumah yang biasa ia tempati untuk bersembunyi dari pandangan mata wanita itu.
                Sang ayah akhirnya tiba. Dan seperti biasa, ia masuk ke dalam rumah dengan wajah masam tanpa tersenyum kepada anak-anaknya, agar mereka tidak menjadi berani padanya karena itu akan merusak pembinaan dan akhlak mereka. Padahal sebelumnya ia tidak pernah begitu. Namun sejak kehadiran wanita itu di rumah ini, ia mulai menjadikan itu sebagai prinsipnya. Wanita itu berhasil menanamkan racunnya pada ayah. Bahwa Majid dan adiknya adalah dua anak yang rusak dan nakal yang tidak mungkin menjadi baik kecuali dengan kekerasan…
                Wanita keji itu memang licik dan lihai. Jika sang suami itu sudah hampir pulang ke rumah, ia akan mengganti “pakaian”nya dengan “pakaian yang baru”. Ia akan melepaskan wajah setannya dan memakai wajah baru yang nampak polos dan tanpa dosa. Ia juga akan segera memandikan kedua anak perempuan itu –putri suaminya dan putrinya yang ia peroleh dari suaminya itu- agar terlihat bersih, lalu mengenakan pakaian yang serupa agar sang suami tidak merasa ia membeda-bedakan antara putri suaminya dan putrinya…
                Pria itu masuk, dan wanita itu menyambutnya bagai orang yang penuh cinta dan kerinduan. Namun ia menyimpan wajah lainnya yang tanpa dosa dan seakan menampakkan betapa malang dan terzhaliminya ia. Ia segera membantu suaminya –pria yang telah tertipu- itu untuk melepaskan pakaiannnya, sambil menceritakan kisah penuh dusta yang menyebabkan dada sang suami dipenuhi amarah dan kebencian pada anak-anaknya sendiri.
                Tiba-tiba saja ia keluar tanpa lagi melihat apa yang ada di depannya. Ia memanggil putrinya yang keudian datang dengan penuh ketakutan, berjalan seperti orang yang dituntun menuju kematian. Perempuan kecil yang malang itu berdiri di depannya, sementara ayahnya duduk di atas kursi dan mulai menacaci-makinya atas tindakan “pencurian” yang dilakukannya. Penuh caci-maki dan kemarahan…
                Lalu pria itu mencari putranya, Majik. Pandangannya penuh ancaman. Sementara Majid tidak bisa diam mendengarkan tuduhan adiknya melakukan pencurian padahal ia tidak melakukannya. Ia mendatangi ayahnya untuk menjelaskan duduk perkaranya. Namun siapa sangka ia hanya mengantar dirinya pada sumber bahaya itu sendiri.
                Gunung merapi itu meledak. Rumah itu bagai mengalami gempa bumi. Suara sang ayah bagai petir yang menggelegar, penuh kemarahan berkata:
                “Kau ingin memukul ibu (tiri)mu, wahai anak tidak tahu malu?!! Wahai anak tidak tahu diri! Apa kamu piker, jika kau sudah berumur 14 tahun kamu sudah jadi orang dewasa? Apa kalau kamu sudah dewasa kamu boleh memukul ibu (tiri)mu?! Aku akan mematahkan tanganmu, wahai anak celaka!!”
                “Demi Allah, Ayah! Itu tidak benar…”
                Oh, sekarang kamu juga sudah berani melawan?! Apa kamu sudah kehilangan sopan-santunmu?! Kamu ingin mengatakan ibu (tiri)mu berbohong?”
                “Tidak, aku tidak mengatakan ia berdusta, tapi dia telah mengatakan sesuatu yang tidak benar,” ujar Mujid.
                Pada saat itulah, ayahnya melompat ke arahnya dengan semua kekuatan yang dimilikinya. Ia memukuli anak itu seperti orang gila yang kehilangan akal sehatnya. Dan karena kemarahannya belum habis, ia mengambil buku tulis hitam di mana putranya itu mencatat semua pelajaran sekolah, lalu merobek-robeknya sehabis-habisnya. Kemudian ia membiarkannya bersama adik perempuannya, tanpa makan malam sebagai hukuman untuk mereka berdua…
                Suami-istri itu lalu makan malam bersama putri kecil mereka. Setelah itu, mereka berdua masuk ke pembaringan mereka. Sementara anak laki-laki itu hanya diam terpaku di tempatnya memandangi buku catatannya yang ia tulis hingga menghabiskan malam-malamnya. Demi menulis catatan itu ia rela mengabaikan makan dan waktu tidurnya. Ia kemudian berdiri mengumpulkan kepingan-kepingan buku itu seperti seorang ibu mengumpulkan serpihan-serpihan tubuh putranya yang hancur karena ledakan bom. Dan ternyata ia telah hancur lebur sehingga tidak mungkin dikumpulkan lagi. Buku catatan itu tidak lagi dapat dibaca kecuali jika serpihan-serpihan tubuh itu kembali manjadi sosok manusia yang sempurna, yang dapat berbicara dan berjalan…
                Di situlah Majid menjadi sangat yakin bahwa ia pasti tidak akan lulus dalam ujian. Ia telah menyia-nyiakan tahun itu. Baban itu begitu berat. Ia tidak bisa menanggung beban kezhaliman ini. Ia merasa dunia ini berputar dan tiba-tiba hari-hari lalunya berputar ulang kembali seperti sebuah film…
                Ia memandangi wajah yang sangat dicintainya itu, wajah ibunya dengan senyumannya membuatnya melupakan semua kepedihan dunia. Dadanya yang hangat tempatnya bersandar ketika merasakan beratnya hari. Ia melihat ibunya dalam sosoknya yang muda dan sehat. Ia melihat rumah mereka. Tidak ada selain kedamaian, ketenangan dan cinta. Ia melihat ayahnya yang sebenarnya, dipenuhi kasih seorang ayah dari kedua pelupuk matanya yang penuh cinta, dari kedua tangannya yang selalu dipenuhi kelembutan dan lisannya yang selalu dihiasi dengan perkataan yang lembut dan menyenangkan…
                Lalu film itu berputar cepat…
                Dan kini ia melihat ibunya terbaring sakit. Namun ia sebenarnya tidak peduli dengan sakitnya. Kemudian rumah mereka mengalami sebuah keguncangan. Kesedihan meliputi wajah-wajah para penghuninya. Terdengar suara tangisan dan sesenggukan. Mereka menjauhkannya dan menyembunyikan berita itu darinya. Namun ia tahu bahwa ibunya telah meninggal. Meninggal? Itu adalah kata yang sudah biasa ia dengarkan. Ketika itu, kata itu tidak berarti apa-apa baginya. Ia sering mendengarkan itu. Sering pula membacanya di buku-buku. Tapi ia belum pernah menyaksikannya langsung…
                Hanya saja hari-hari berlalu begitu cepat. Dengan segera, ia memahami apa kematian itu ketika keesokan paginya, adik perempuan yang tersayang itu menangis mencari ibunya, yang hari-hari itu masih menjadi sosok yang sangat disayangi oleh ayahnya. Ia membuka kedua matanya, dan ia tak menemukan sang ibu di sampingnya. Tidak adak ibu yang akan menyusui sang adik dan mendekapnya di dadanya. Adik kecilnya itu semakin keras tangisnya. Anak laki-laki itu mulai memanggil-manggil:
                “Mama…”
                Ia terus mencari-carinya, namun ia hanya mendapati sang ayah bersama beberapa kerabat. Mereka juga ikut menangis. Anak kecil itu bertanya pada mereka:
                “Mama ke mana?”
                Namun mereka tak menjawab…
                Ketika ia akan pergi ke sekolah, ia kembali memanggil ibunya. Namun sang ibu tak kunjung muncul untuk menyiapkan tas, mengenakan pakaian, dan berdiri mengantarkan kepergiannya di balik pintu, menciumnya dan menyampaikan pesan-pesannya untuk tidak berkelahi dan bermain-main di lorong-lorong sempit. Lalu ketika ia telah menjauh, sang ibu kembali memanggilnya untuk mengulangi ciuman dan nasihatnya. Dan ketika ia kembali dari sekolah, ia menemukan seorang wanita yang tak dikenalnya menyusui adik perempuannya. Mengapa ia disusui oleh wanita itu? Ke mana ibuku?
                Dan kini ia melihat ayahnya mulai merasa iba dan kasihan kepadanya. Sang ayah berusaha untuk menjadi ayah sekaligus ibu untuknya dan untuk adiknya. Namun sang ayah kemudian berubah sejak hari yang kelam itu. Ia benar-benar melihat itu sebagai sebuah hari yang kelam, hari ketika ayahnya berkata padanya: “Majid, tidak lama lagi engkau akan mendapatkan seorang ibu baru…”
                Ibu baru?
                Ini hal yang tidak pernah didengarkannya. Ia tahu bagaimana rasanya mendapatkan seorang adik baru. Sang ibu melahirkannya dari rahimnya.
                Tapi seorang ibu baru, dari mana ia muncul? Dan ia pun menunggu. Hingga datanglah sang ibu baru itu. Seorang ibu yang manis. Pakaiannya indah. Pipinya bagai merah delima. Bibirnya merah, tidak seperti bibir manusia biasa. Pendek kata, ia sungguh menawan. Tapi entah mengapa, Majid sama sekali tidak menyukainya. Di hari-hari pertama keberadaannya di rumah itu, wanita itu begitu lembut dan baik hati. Namun ketika hari demi hari berlalu, wanita itu semakin mencengkeramkan kaki dan tangannya di rumah itu. Dan ketika itulah, ia berubah menjadi sosok yang keras dan kasar seperti batang pohon. Namun ia begitu pandai menipu dengan kecantikannya…
                Dan ketika ia dianugerahi seorang anak perempuan, wanita itu berubah menjadi sosok setan dalam wujud ular berbisa dibungkus kulit seorang wanita cantik. Na’udzubillah dari wanita cantik, namun sebenarnya ia adalah setan dalam wujud ular berbisa!
                Begitulah, dan semua gembaran masa silam yang menyenangkan itupun lenyap. Film itu menghilang sedikit demi sedikit. Tidak ada yang tersisa selain gambaran yang mengerikan dan menakutkan itu. Ia melihat gambar itu membesar dan membesar, semakin besar hingga memenuhi dan meliputi seluruh kehidupannya. Cahaya kenangan dan sinar harapan itu akhirnya tertutupi. Ia mendengarkan suara tawa terbahak-bahak. Ia gemetar dan merasa suara tawa itu bagai rentetan peluru yang menghantam jiwanya. Suara tawa wanita yang menggantikan ibunya itu diselingi oleh suara tawa ayahnya…
                Ia tiba-tiba tersadar dari lamunannya. Sayup-sayup ia mendengarkan suara tangisan yang sesenggukan. Ia ingat adiknya. Adiknya yang malang itu belum makan malam. Dan mungkin ia akan tinggal hingga esok siang tanpa makan siang. Karena wanita jahat itu akan disibukkan dengan mengurus anaknya sendiri, mengunci ruang makan, dan tidak memberinya apa-apa selain sepotong roti. Lalu jika suaminya datang, ia akan kembali memasang muka belas kasihnya dan mengadukan sakit adik perempuannya yang malang itu dan betapa lemahnya ia:
                “Sungguh malang anak ini, Suamiku. Ia tak pernah makan sedikit pun. Coba lihat tubuhnya, apakah kau tak ingin membawanya ke dokter? Tapi apa yang dapat dilakukan dokter padanya? Ia sungguh anak yang keras kepala. Aku sudah menyuruhnya makan, tapi ia tidak mau makan. Sifat keras kepalanya itu akan merongrong kesehatannya…”
                Mendengar itu ayahnya memanggilnya dengan penuh kemarahan:
                “Mengapa kau begitu keras kepala?! Makanlah, kalau tidak aku akan mematahkan lehermu!!”
                Anak perempuan malang itu maju untuk makan. Namun begitu ia melihat wanita jahat itu memandangnya dari belakang suaminya dengan pandangan yang mengancam. Anak malang itu seperti memandang wajah buaya sehingga ia ketakutan dan gemeter…
                Wanita itupun berkata kepada suaminya: “Bukankah sudah kukatakan padamu kalau ia keras kepala dan harus dididik?”
                Sang suami menganggukkan kepalanya. Dan untuk mendidiknya, ia pun memukulnya, menarik telinganya dan mengusirnya dari ruangan itu, dan itulah yang akan menjadi makan malamnya kali itu!
                Majid teringat akan adiknya. Ia pun berdiri lalu menggendongnya dan memeluknya. Mendekapnya ke dadanya.
                “Adik kenapa? Mengapa menangis? Berhentilah menangis, Sayang…”
                “Aku lapar…”
                Lapar? Dari mana ia bisa memberikan makanan untuknya? Ia mencoba mencari-cari…
                Beruntung ia menemukan pintu ruang makan terbuka! Padahal biasanya pintu itu selalu tertutup. Di atas meja makan ia menemukan sisa-sisa makan malam. Ia membawanya untuk adik kecilnya yang malang. Betapa gembiranya si kecil yang malang itu. Dengan lahap ia memakan sisa-sisa makanan itu persis seperti anak yang sebelumnya tidak pernah menjadi anak yang disayangi dan dicintai. Yang permintaannya selalu dipenuhi. Harapan nyaris tidak ada yang sia-sia. Betapa sakitnya perasaan Majid melihat adiknya yang malang itu hanya memakan sisa-sisa makanan ayah dan ibu tirinya. Itupun setelah ia “mencuri” dari ruang makan.
                Bayangan-bayangan masa lalu kembali hadir di depannya. Gambaran ibunya hadir kembali. Ia seperti mendengar suaranya memanggil…
                Khayalan itu semakin nyata persis seperti dahulu gambaran itu hadir di depan matanya. Khayalan itu melemparnya ke masa lalunya dan membuatnya lupa terhadap masa kininya. Ia tidak lagi melihat adiknya yang malang dan terzhalimi. Kini ia melihatnya sebagai anak yang paling disayang, yang menemukan seorang ibu yang mencintai dan mengasihinya…
                Ia melupakan buku catatannya yang telah tersobek-sobek, masa depannya yang telah hilang, kehidupannya yang pahit. Ia mulai menyimak baik-baik panggilan masa lalu di kedua telinganya, kepada suara ibunya…
                “Bangunlah sayangku! Apakah engkau tak mendengar suara ibumu? Ayolah kita pergi menemui ibu kita!”
                Anak perempuan itu kebingungan, karena ia tidak pernah mengenal sosok ibu kecuali si wanita jahat itu. Ia takut padanya dan tidak mau pergi menemuinya. Itulah kejahatan wanita itu. Ia berhasil  menanamkan pikiran buruk dalam benak anak itu tentang sosok terindah yang dikenal oleh setiap manusia: sosok ibu!
                “Ayolah, kita pergi menemui ibu kita yang manis. Ibumu ada di sana, di temat yang sangat indah, di daam Surga. Apakah engkau tidak mendengarkan suaranya?”
                Ia menuntun adiknya dengan kedua tangannya, membuka pintu dan berjalan bersamanya, menikuti ke mana arah suara yang terdengar manis di kedua telinganya, ke tempat di mana ibunya berada…
                Keesokan pagi harinya, di Koran orang-orang membaca bahwa petugas kebersihan menemukan seorang anak perempuan berusia 6 tahun dan seorang anak laki-laki berusia 14 tahun berbaring lemah di sebuah perkuburan. Mereka segera di bawa ke rumah sakit, karena kondisi anak perempuan itu sangat kritis. Ia tidak mungkin selamat kecuali dengan keajaiban takdir. Sementara anak laki-laki itu terus mengigau dalam demamnya, menyebut-nyebut ujiannya, buku catatan berwarna hitamnya, ibunya yang terus memanggi-manggilnya dan wanita yang serupa ular berbisa itu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar