”Bagaimana gerangan jika akulah yang meninggal? Bagaimana gerangan
keadaanku?”
Wajah
saudariku itu semakin kuyu, dan tubuhnya semakin kurus. Namun seperti
kebiasaannya, ia terus saja membaca al-Qur’an al-Karim.
Jika
engkau mencarinya, engkau akan menemukannya sedang berada di tempat shalatnya.
Ruku’, sujud dan mengangkat kedua tangannya ke langit.
Demikianlah
di petang dan siang hari, serta di kegelapan malam, ia tak kenal lelah dan
jemu.
Sementara aku, aku lebih senang membaca majalah-majalah hiburan dan
buku-buku cerita.
Aku
lebih senang menonton televise, sampai-sampai sangat dikenal untuk hal yang
satu ini. Benar kata orang, siapa yang banyak melakukan suatu hal tertentu, ia
pasti akan dikenal dengan hal itu.
Aku
jarang sekali menjalankan kewajibanku dengan sempurna. Shalatku juga tidak
pernah teratur.
Dan
setelah aku mematikan televise usai menyaksikan berbagai film selama tiga jam
berturut-turut, tiba-tiba terdengar suara adzan yang berkumandang dari masjid
sebelah rumah. Aku kembali ke tempat tidurku. Saudariku itu memanggilku dari
tempat shalatnya.
“Iya,
apa yang kau inginkan, Nurah?” jawabku.
Ia
menjawab suara lirihnya yang tegas: “Jangan sampai engkau tidur sebelum engkau
mengerjakan shalat Shubuh.”
Ugh…shalat
Shubuh masih satu jam lagi. Apa yang ku dengar tadi ternyata baru adzan pertama.
Dengan
suara lembutnya, begitulah dia selalu. Hingga akhirnya ia ditimpa sebuah
penyakit yang kejam, yang membuatnya terbaring tak berdaya di atas tempat
tidurnya.
Ia
memanggilku, “Kemarilah, wahai Hana, duduklah di sampingku.”
Aku
benar-benar tidak bisa menolak permintaannya. Engkau akan benar-benar merasakan
kejernihan dan ketulusannya.
“Apa
yang engkau inginkan?” tanyaku.
“Duduklah…,”
ujarnya.
“Nah,
sekarang aku telah duduk. Apa yang engkau inginkan?”
Dengan
suara lirih, ia mengatakan:
“Setiap jiwa itu akan merasakan kematian, dan
kalian itu tidak lain akan diberikan balasan kalian pada hari Kiamat.” (QS.
Ali Imran: 185)
Lalu
ia diam sejenak. Kemudian ia bertanya padaku: “Apakah engkau tidak mempercayai
kematian?”
“Tentu
saja, aku percaya!” jawabku.
“Apakah
engkau percaya bahwa engkau akan dihisab untuk setiap hal kecil maupun besar
yang engkau lakukan?” tanyanya lagi.
“Tentu
saja aku percaya. Tapi, Allah itu Maha Pengampun dan Penyayang bukan? Lagi pula
umur masih panjang, wahai saudariku,” ujarku.
“Apakah
engkau tidak takut pada kematian yang datang tiba-tiba? Coba engkau ingat
Hindun yang lebih darimu, namun ia telah meninggal dalam kecelakaan mobil. Lalu
si Fulanah dan si Fulanah… Kematian itu tidak pernah mengenal usia. Dan usia
sama sekali bukan ukuran untuk menentukan kematian itu sendiri,” ujarnya lagi.
Aku
menjawab dengan suara penuh ketakutan –sementara cahaya tempat shalatnya begitu
redup-:
“Aku
sungguh-sungguh takut dengan kegelapan, dan engkau manambah ketakutanku dengan
menyebut-nyebut soal kematian. Bagaimana aku dapat tidur sekarang? Kupikir
bukankah engkau telah setuju untuk ikut serta bersama kami dalam perjalanan
liburan kali ini?”
Tiba-tiba
saja suaranya merendah. Hatiku tiba-tiba juga merinding.
“Mungkin
tahun ini aku akan menempuh perjalanan yang sangat jauh.. Ke tempat
lain…Mungkin saja demikian, wahai Hana, karena umur sepenuhnya di tangan
Allah,” jawabnya.
Dan
aku tak kuasa Manahan tangisku. Tangisku tumpah sejadi-jadinya. Aku merenungkan
penyakit ganas yang dideritanya. Para dokter telah memberitahu ayahku diam-diam
bahwa penyakit itu mungkin tidak memberikannya waktu lebih lama. Karenanya aku
bertanya padanya:
“Siapa
yang memberitahumu tentang itu? Atau itu semua sekadar dugaanmu saja? Mengapa
engkau berpikri demikian?”
Kali
ini ia menjawabku dengan suaranya yang jauh lebih kaut:
“Apakah
engkau piker aku mengatakan ini karena aku sakit? Oh, tidak. Mungkin saja
umurku akan jauh lebih panjang dari orang-orang yang sehat. Dan engkau, sampai
kapan engkau akan hidup? Mungkin 20 tahun. Mungkin 40 tahun, lalu setelah itu
apa?”
Aku
meraba-raba tangannya dalam kegelapan, lalu menggenggamnya dengan kuat.
“Tidak
ada bedanya antara kita berdua. Kita semua akan pergi dan meninggalkan dunia
ini; jika tidak ke Surga, maka kita akan ke Neraka. Tidakkan engkau
mendengarkan firman Allah:
‘Siapa yang diselamatkan dari neraka lalau
dimasukkan ke dalam Surga, maka dia telah meraih kemenangan.’ (QS. Ali
Imran: 185)
“Semoga
engkau baik-baik saja pagi ini…” ujarnya.
Aku
berlari cepat meninggalkannya, sementara suaranya terus mengetuk kedua
telingaku:
“Semoga
Allah memberimu petunjuk! Jangan lupa untuk shalat…”
Jam delapan pagi
Aku
mendengarkan suara ketukan di pintu kamarku. Ini bukan waktunya aku untuk
bangun. Sayup-sayup kudengar suara tangis. Begitu banyak suara. Duhai Tuhanku,
apa yang terjadi?
Kondisi
Nurah semakin buruk. Ayahku telah membawanya ke rumah sakit. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Tidak aka nada perjalanan akhir tahun ini.
Aku
sudah ditakdirkan untuk tetap tinggal di rumah pada liburan tahun ini. Dan
setelah menunggu lama tepat jam 13.00 siang, ayah menelepon kami dari rumah
sakit. “Kalian dapat mengunjunginya sekarang. Cepatlah ke sini!” pesannya.
Ibuku
menyampaikan padaku bahwa suara ayahku nampak begitu gelisah. Suaranya lain
dari biasanya. Jubahku telah kupegang. Ke mana perginya pak supir?
Kami
berangkat dengan terburu-buru…mengapa jalan yang biasa terasa begitu pendek,
hari ini terasa begitu panjang, sangat panjang.
Ke
mana perginya kemacetan yang begitu kusukai, di mana aku dapat menoleh ke kiri
dan kanan.
Tapi
kali ini, kemacetan berubah menajadi hal yang membosankandan menjemukan.
Di
sampingku, ibu tak putus-putus berdoa. Nurah memang seorang putri yang patuh
dan shalihah. Aku tak pernah melihatnya membuang-buang waktu percuma.
Pemandangan
rumah sakit sungguh mengiris hati. Di sini si sakit sedang mengaduh. Di sana
korban kecelakaan lalu lintas.
Engkau
tidak tahu, apakah mereka masih menjadi penghuni dunia atau telah menjadi
penghuni Akhirat…
Pemandangan
yang benar-benar “menakjubkan” dan aku belum pernah melihat ini sebelumnya.
Kami
menaiki anak-anak tangga dengan cepat. Ke ruangan ICU. Itulah tujuan kami.
Seorang perawat menghampiri kami.
“Kondisi
baik,” ujarnya menenangkan ibuku. Ia jauh lebih baik setelah sebelumnya sempat
tidak sadarkan diri. Dilarang masuk lebih
dari satu orang. Ini benar-benar ruang perawatan intensif.
Di
tengah kerumunan dokter dan melalui sebuah jendela kecil yang ada di pintu
ruangan ICU itu, aku melihat kedua mata saudariku, Nurah, memandang ke arahku
dan ke arah ibuku yang sedang berdiri di sampingnya.
Dua
menit kemudian, ibuku keluar dan ia tak mampu menyembunyikan iar matanya.
Mereka
lalu mengizinkanku masuk dan mengucapkan salam padanya. Namun aku tidak boleh
terlalu banyak bicara dengannya.
Dua menit cukup untukmu.
“Apa
kabarmu, Nurah? Kemarin malam, engkau baik-baik saja. Apa yang telah terjadi
padamu?”
Ia
mengatakan setelah menggenggam tanganku: “Dab sekarang, Alhamdulillah, aku baik-baik saja.”
“Ya,
Alhamdulillah. Namun tanganmu begitu
dingin…,” ujarku.
Aku
duduk di sisi tempat tidurnya. Tanganku memegang betisnya. Tapi ia
menjauhkannya dariku…
“Maaf
jika aku telah mengganggumu…,” ujarku.
“Sama
sekali tidak. Aku hanya merenungkan firman Allah:
‘dan ketika betis itu bertemu dengan betis
(yang lain). Hanya kepada Tuhanmu-lah hari itu tempat kembali.’ (QS.
Al-Qiyamah: 29-30).
“Tolong
doakan aku, Hana! Karena mungkin tidak lama lagi aku akan memulai kehidupan
hari pertamaku di Akhirat. Perjalananku begitu jauh, namun bekalku begitu
sedikit…”
Air
mataku jatuh menetes mendengar apa yang diucapkannya. Aku menangis. Tiba-tiba
saja, aku sudah tidak menyadari di mana aku sekarang berada. Kedua mataku terus
saja menangis.
Kini,
ayahku malah lebih mengkahawatirkanku daripada Nurah. Mereka tidak terbiasa
melihatku menangis seperti ini. Dan seiring terbenamnya matahari di hari yang
penuh kesedihan itu, kebisuan yang panjang menyelimuti rumah kami. Saudari
sepupuku datang menemuiku.
Peristiwa
demi peristiwa terjadi begitu cepat, tiba-tiba saja banyak sekali orang yang
datang. Suara-suara bercampur baur. Namun hanya satu hal yang kutahu: Nurah
telah meninggal dunia! Aku tidak lagi bisa membedakan siapa saja yang datang.
Aku tidak tahu lagi apa yang mereka ucapkan. Ya Allah, di mana aku berada dan
apa yang telah terjadi?
Aku
sudah demikian lemah, bahkan untuk sekadar menangis.
Setelah
hari itu, mereka menceritaka padaku bahwa ayahku memegang tanganku untuk
mengucapkan selamat jalan kepada saudariku itu dan bahwa aku menciumnya. Tapi
aku benar-benar tidak dapat mengingat apapun.
Ketika
aku melihatnya terbujur kaku di atas pembaringan, aku hanya mengingat ayat yang
pernah dibacanya:
“Dan ketika betis itu bertemu dengan betis
(yang lain)” barulah aku menyadari bahwa memang benar, “Hanya kepada Tuhanmu-lah hari itu tempat
kembali.”
Aku
tidak tahu bahwa aku kembali ke tempat ia biasa mengerjakan shalat kecuali
malam itu.
Saat
itulah, aku kembali terkenang pada orang yang dahulu kutemani berbagi di dalam
Rahim ibuku, sebab kami berdua adalah saudara kembar. Aku kembali terkenang
pada siapa aku biasa membagi kegelisahanku. Aku terkenang pada orang yang biasa
membantuku keluar dari masalahku. Yang selalu mendoakan hidayah untukku. Yang
air matanya terus mengalir di malam-malam yang pajang, ketika ia meceritakan
tentang kematian dan hari perhitungan padaku…wallahul musta’an.
Ini
adalah malam pertamanya di dalam kuburnya. Ya Allah, kasihilah ia dan cahayailah
kuburnya. Inilah mushaf yang biasa ia baca. Ini sajadahnya, …dan ini…dan ini…
Duhai,
bahkan itulah sekuntum bunga yang pernah ia katakan padaku: “Aku akan
menyembunyikan dan menyimpannya untuk hari pernikahanku…”
Aku
mengenangnya dan aku menangis. Aku menangisi hari-hariku yang berlalu dengan
sia-sia. Aku larut dalam tangis yang berkepanjangan. Aku berdoa pada Allah agar
mengasihiku, menerima taubatku dan mengampuniku. Aku mohon kepada Allah agar
meneguhkannya di dalam kuburnya, seperti yang dahulu selalu ia pinta padaNya…
Tiba-tiba
saja aku bertanya pada diriku sendiri: “Bagaimana gerangan jika aku yang
meninggal? Bagaimana gerangan keadaanku?”
Aku
tidak berusaha untuk mencari jawabannya, karena rasa takut yang begitu saja
menghinggapiku. Aku menangis saja sekeras-kerasnya…Allahu Akbar…Allahu Akbar…
Suara
adzan Shubuh kembali berkumandang. Tapi kali ini, ia terdengar begitu sejuk.
Aku merasakan ketenangan dan kedamaian yang uar biasa ketika aku mengulangi
setiap kalimat yang diucapkan oleh sang muadzin…
Kukenakan
kain sarungku, lalu aku berdiri mengerjakan shalat Shubuh. Kukerjakan
seakan-akan itulah shalat perpisahanku dengan dunia ini. Persis seperti dahulu
Nurah mengerjakannya, lalu kemudian itu menjadi shalat terkahir baginya…
Jika aku tiba di pagi hari, maka aku tidak
akan menunggu hingga sore hari. Dan jika aku tiba sore hari, maka aku tidak
akan menunggu hingga pagi hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar