Minggu, 01 April 2012

BETAPA INDAH KEPERGIAN ITU


Bagaimana gerangan jika akulah yang meninggal? Bagaimana gerangan keadaanku?”

                Wajah saudariku itu semakin kuyu, dan tubuhnya semakin kurus. Namun seperti kebiasaannya, ia terus saja membaca al-Qur’an al-Karim.
                Jika engkau mencarinya, engkau akan menemukannya sedang berada di tempat shalatnya. Ruku’, sujud dan mengangkat kedua tangannya ke langit.
                Demikianlah di petang dan siang hari, serta di kegelapan malam, ia tak kenal lelah dan jemu.
Sementara aku, aku lebih senang membaca majalah-majalah hiburan dan buku-buku cerita.
                Aku lebih senang menonton televise, sampai-sampai sangat dikenal untuk hal yang satu ini. Benar kata orang, siapa yang banyak melakukan suatu hal tertentu, ia pasti akan dikenal dengan hal itu.
                Aku jarang sekali menjalankan kewajibanku dengan sempurna. Shalatku juga tidak pernah teratur.
                Dan setelah aku mematikan televise usai menyaksikan berbagai film selama tiga jam berturut-turut, tiba-tiba terdengar suara adzan yang berkumandang dari masjid sebelah rumah. Aku kembali ke tempat tidurku. Saudariku itu memanggilku dari tempat shalatnya.
                “Iya, apa yang kau inginkan, Nurah?” jawabku.
                Ia menjawab suara lirihnya yang tegas: “Jangan sampai engkau tidur sebelum engkau mengerjakan shalat Shubuh.”
                Ugh…shalat Shubuh masih satu jam lagi. Apa yang ku dengar tadi ternyata baru adzan pertama.
                Dengan suara lembutnya, begitulah dia selalu. Hingga akhirnya ia ditimpa sebuah penyakit yang kejam, yang membuatnya terbaring tak berdaya di atas tempat tidurnya.
                Ia memanggilku, “Kemarilah, wahai Hana, duduklah di sampingku.”
                Aku benar-benar tidak bisa menolak permintaannya. Engkau akan benar-benar merasakan kejernihan dan ketulusannya.
                “Apa yang engkau inginkan?” tanyaku.
                “Duduklah…,” ujarnya.
                “Nah, sekarang aku telah duduk. Apa yang engkau inginkan?”
                Dengan suara lirih, ia mengatakan:
                “Setiap jiwa itu akan merasakan kematian, dan kalian itu tidak lain akan diberikan balasan kalian pada hari Kiamat.” (QS. Ali Imran: 185)
                Lalu ia diam sejenak. Kemudian ia bertanya padaku: “Apakah engkau tidak mempercayai kematian?”
                “Tentu saja, aku percaya!” jawabku.
                “Apakah engkau percaya bahwa engkau akan dihisab untuk setiap hal kecil maupun besar yang engkau lakukan?” tanyanya lagi.
                “Tentu saja aku percaya. Tapi, Allah itu Maha Pengampun dan Penyayang bukan? Lagi pula umur masih panjang, wahai saudariku,” ujarku.
                “Apakah engkau tidak takut pada kematian yang datang tiba-tiba? Coba engkau ingat Hindun yang lebih darimu, namun ia telah meninggal dalam kecelakaan mobil. Lalu si Fulanah dan si Fulanah… Kematian itu tidak pernah mengenal usia. Dan usia sama sekali bukan ukuran untuk menentukan kematian itu sendiri,” ujarnya lagi.
                Aku menjawab dengan suara penuh ketakutan –sementara cahaya tempat shalatnya begitu redup-:
                “Aku sungguh-sungguh takut dengan kegelapan, dan engkau manambah ketakutanku dengan menyebut-nyebut soal kematian. Bagaimana aku dapat tidur sekarang? Kupikir bukankah engkau telah setuju untuk ikut serta bersama kami dalam perjalanan liburan kali ini?”
                Tiba-tiba saja suaranya merendah. Hatiku tiba-tiba juga merinding.
                “Mungkin tahun ini aku akan menempuh perjalanan yang sangat jauh.. Ke tempat lain…Mungkin saja demikian, wahai Hana, karena umur sepenuhnya di tangan Allah,” jawabnya.
                Dan aku tak kuasa Manahan tangisku. Tangisku tumpah sejadi-jadinya. Aku merenungkan penyakit ganas yang dideritanya. Para dokter telah memberitahu ayahku diam-diam bahwa penyakit itu mungkin tidak memberikannya waktu lebih lama. Karenanya aku bertanya padanya:
                “Siapa yang memberitahumu tentang itu? Atau itu semua sekadar dugaanmu saja? Mengapa engkau berpikri demikian?”
                Kali ini ia menjawabku dengan suaranya yang jauh lebih kaut:
                “Apakah engkau piker aku mengatakan ini karena aku sakit? Oh, tidak. Mungkin saja umurku akan jauh lebih panjang dari orang-orang yang sehat. Dan engkau, sampai kapan engkau akan hidup? Mungkin 20 tahun. Mungkin 40 tahun, lalu setelah itu apa?”
                Aku meraba-raba tangannya dalam kegelapan, lalu menggenggamnya dengan kuat.
                “Tidak ada bedanya antara kita berdua. Kita semua akan pergi dan meninggalkan dunia ini; jika tidak ke Surga, maka kita akan ke Neraka. Tidakkan engkau mendengarkan firman Allah:
                ‘Siapa yang diselamatkan dari neraka lalau dimasukkan ke dalam Surga, maka dia telah meraih kemenangan.’ (QS. Ali Imran: 185)
                “Semoga engkau baik-baik saja pagi ini…” ujarnya.
                Aku berlari cepat meninggalkannya, sementara suaranya terus mengetuk kedua telingaku:
                “Semoga Allah memberimu petunjuk! Jangan lupa untuk shalat…”
Jam delapan pagi
                Aku mendengarkan suara ketukan di pintu kamarku. Ini bukan waktunya aku untuk bangun. Sayup-sayup kudengar suara tangis. Begitu banyak suara. Duhai Tuhanku, apa yang terjadi?
                Kondisi Nurah semakin buruk. Ayahku telah membawanya ke rumah sakit. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Tidak aka nada perjalanan akhir tahun ini.
                Aku sudah ditakdirkan untuk tetap tinggal di rumah pada liburan tahun ini. Dan setelah menunggu lama tepat jam 13.00 siang, ayah menelepon kami dari rumah sakit. “Kalian dapat mengunjunginya sekarang. Cepatlah ke sini!” pesannya.
                Ibuku menyampaikan padaku bahwa suara ayahku nampak begitu gelisah. Suaranya lain dari biasanya. Jubahku telah kupegang. Ke mana perginya pak supir?
                Kami berangkat dengan terburu-buru…mengapa jalan yang biasa terasa begitu pendek, hari ini terasa begitu panjang, sangat panjang.
                Ke mana perginya kemacetan yang begitu kusukai, di mana aku dapat menoleh ke kiri dan kanan.
                Tapi kali ini, kemacetan berubah menajadi hal yang membosankandan menjemukan.
                Di sampingku, ibu tak putus-putus berdoa. Nurah memang seorang putri yang patuh dan shalihah. Aku tak pernah melihatnya membuang-buang waktu percuma.
                Pemandangan rumah sakit sungguh mengiris hati. Di sini si sakit sedang mengaduh. Di sana korban kecelakaan lalu lintas.
                Engkau tidak tahu, apakah mereka masih menjadi penghuni dunia atau telah menjadi penghuni Akhirat…
                Pemandangan yang benar-benar “menakjubkan” dan aku belum pernah melihat ini sebelumnya.
                Kami menaiki anak-anak tangga dengan cepat. Ke ruangan ICU. Itulah tujuan kami. Seorang perawat menghampiri kami.
                “Kondisi baik,” ujarnya menenangkan ibuku. Ia jauh lebih baik setelah sebelumnya sempat tidak sadarkan diri. Dilarang masuk lebih dari satu orang. Ini benar-benar ruang perawatan intensif.
                Di tengah kerumunan dokter dan melalui sebuah jendela kecil yang ada di pintu ruangan ICU itu, aku melihat kedua mata saudariku, Nurah, memandang ke arahku dan ke arah ibuku yang sedang berdiri di sampingnya.
                Dua menit kemudian, ibuku keluar dan ia tak mampu menyembunyikan iar matanya.
                Mereka lalu mengizinkanku masuk dan mengucapkan salam padanya. Namun aku tidak boleh terlalu banyak bicara dengannya.
                Dua menit cukup untukmu.
                “Apa kabarmu, Nurah? Kemarin malam, engkau baik-baik saja. Apa yang telah terjadi padamu?”
                Ia mengatakan setelah menggenggam tanganku: “Dab sekarang, Alhamdulillah, aku baik-baik saja.”
                “Ya, Alhamdulillah. Namun tanganmu begitu dingin…,” ujarku.
                Aku duduk di sisi tempat tidurnya. Tanganku memegang betisnya. Tapi ia menjauhkannya dariku…
                “Maaf jika aku telah mengganggumu…,” ujarku.
                “Sama sekali tidak. Aku hanya merenungkan firman Allah:
                ‘dan ketika betis itu bertemu dengan betis (yang lain). Hanya kepada Tuhanmu-lah hari itu tempat kembali.’ (QS. Al-Qiyamah: 29-30).
                “Tolong doakan aku, Hana! Karena mungkin tidak lama lagi aku akan memulai kehidupan hari pertamaku di Akhirat. Perjalananku begitu jauh, namun bekalku begitu sedikit…”
                Air mataku jatuh menetes mendengar apa yang diucapkannya. Aku menangis. Tiba-tiba saja, aku sudah tidak menyadari di mana aku sekarang berada. Kedua mataku terus saja menangis.
                Kini, ayahku malah lebih mengkahawatirkanku daripada Nurah. Mereka tidak terbiasa melihatku menangis seperti ini. Dan seiring terbenamnya matahari di hari yang penuh kesedihan itu, kebisuan yang panjang menyelimuti rumah kami. Saudari sepupuku datang menemuiku.
                Peristiwa demi peristiwa terjadi begitu cepat, tiba-tiba saja banyak sekali orang yang datang. Suara-suara bercampur baur. Namun hanya satu hal yang kutahu: Nurah telah meninggal dunia! Aku tidak lagi bisa membedakan siapa saja yang datang. Aku tidak tahu lagi apa yang mereka ucapkan. Ya Allah, di mana aku berada dan apa yang telah terjadi?
                Aku sudah demikian lemah, bahkan untuk sekadar menangis.
                Setelah hari itu, mereka menceritaka padaku bahwa ayahku memegang tanganku untuk mengucapkan selamat jalan kepada saudariku itu dan bahwa aku menciumnya. Tapi aku benar-benar tidak dapat mengingat apapun.
                Ketika aku melihatnya terbujur kaku di atas pembaringan, aku hanya mengingat ayat yang pernah dibacanya:
                “Dan ketika betis itu bertemu dengan betis (yang lain)” barulah aku menyadari bahwa memang benar, “Hanya kepada Tuhanmu-lah hari itu tempat kembali.”
                Aku tidak tahu bahwa aku kembali ke tempat ia biasa mengerjakan shalat kecuali malam itu.
                Saat itulah, aku kembali terkenang pada orang yang dahulu kutemani berbagi di dalam Rahim ibuku, sebab kami berdua adalah saudara kembar. Aku kembali terkenang pada siapa aku biasa membagi kegelisahanku. Aku terkenang pada orang yang biasa membantuku keluar dari masalahku. Yang selalu mendoakan hidayah untukku. Yang air matanya terus mengalir di malam-malam yang pajang, ketika ia meceritakan tentang kematian dan hari perhitungan padaku…wallahul musta’an.
                Ini adalah malam pertamanya di dalam kuburnya. Ya Allah, kasihilah ia dan cahayailah kuburnya. Inilah mushaf yang biasa ia baca. Ini sajadahnya, …dan ini…dan ini…
                Duhai, bahkan itulah sekuntum bunga yang pernah ia katakan padaku: “Aku akan menyembunyikan dan menyimpannya untuk hari pernikahanku…”
                Aku mengenangnya dan aku menangis. Aku menangisi hari-hariku yang berlalu dengan sia-sia. Aku larut dalam tangis yang berkepanjangan. Aku berdoa pada Allah agar mengasihiku, menerima taubatku dan mengampuniku. Aku mohon kepada Allah agar meneguhkannya di dalam kuburnya, seperti yang dahulu selalu ia pinta padaNya…
                Tiba-tiba saja aku bertanya pada diriku sendiri: “Bagaimana gerangan jika aku yang meninggal? Bagaimana gerangan keadaanku?”
                Aku tidak berusaha untuk mencari jawabannya, karena rasa takut yang begitu saja menghinggapiku. Aku menangis saja sekeras-kerasnya…Allahu Akbar…Allahu Akbar…
                Suara adzan Shubuh kembali berkumandang. Tapi kali ini, ia terdengar begitu sejuk. Aku merasakan ketenangan dan kedamaian yang uar biasa ketika aku mengulangi setiap kalimat yang diucapkan oleh sang muadzin…
                Kukenakan kain sarungku, lalu aku berdiri mengerjakan shalat Shubuh. Kukerjakan seakan-akan itulah shalat perpisahanku dengan dunia ini. Persis seperti dahulu Nurah mengerjakannya, lalu kemudian itu menjadi shalat terkahir baginya…
                Jika aku tiba di pagi hari, maka aku tidak akan menunggu hingga sore hari. Dan jika aku tiba sore hari, maka aku tidak akan menunggu hingga pagi hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar